Kamis, 10 April 2014

REKONSTRUKSI REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN

REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN
Oleh : UST.ZAIN AS SEGAFF

PENGANTAR
Pesantren merupakan salah satu dari sekian banyak model pendidikan yang mencerminkan keaslian model pendidikan di Indonesia (indigenous). Pesantren sendiri sudah ada sejak jaman Nabi, ketika ada sekelompok shahabat ( ± 40 orang shohabat ) yang hidup bersama nabi di masjid, mereka inilah yang akhirnya dikenal dengan sebutan Ashabus-Shuffah. Disini Nabi memerankan diri sebagai seorang Kyai yang men-transformasikan keilmuannya kepada para santrinya (shohabat) dalam berbagai macam disiplin keilmuan, misalnya : keagamaan, militer, ekonomi, sosiologi, dll. Karena memang sentral kegiatan pada masa Nabi berpusat di Masjid.
Pada era selanjutnya, tradisi pesantren dikembangkan oleh missionaris Islam dari jazirah Arab yang sengaja menyiarkan agama Islam di Indonesia menyamar sebagai pedagang rempah-rempah. Jadi bukan aspek berdagangnya yang menjadi prioritas tetapi aspek ubudiyahnya, ini terbukti dengan sikap mereka, ketika pertama kali datang dengan membangun tempat-tempat peribadatan semacam surau, langgar bukan mendirikan supermarket, agro bisnis dan pusat perbelanjaan lainnya.
Sistem semacam ini pada zaman para wali terus dikembangkan terutama menghadapi tradisi hindu-budha yang waktu itu sangat dominan di segala aspek kehidupan. Dalam menjalankan misinya, para wali tidak merobah tradisi yang telah berlaku di masyarakat, hanya saja muatan-muatan yang terkandung didalamnya dirubah dan dimasuki dengan muatan-muatan keislaman. Cara ini ternyata sangat efektif untuk penyebaran agama Islam di Indonesia, sehingga tanpa terasa sedikit demi sedikit mereka mulai sadar atas kekeliruannya dan akhirnya mengakui kebenaran agama Islam yang dikembangkan para wali.
Dari tradisi semacam ini akhirnya pesantren mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama di daerah pedesaan Jawa yang merupakan basis kekuatan Islam. Sehingga pada tahun 1955 ketika Indonesia dihadapkan pada kesulitan ekonomi akibat penjajahan, maka pesantren dijadikan alternatif pendidikan yang paling diminati oleh banyak kalangan muslim. Jumlah pesantren tahun 2000/2001 mencapai 11.312. Lebih besar 10 % dibanding tahun 1999/2000 yang mencapai 9.818. (lihat data statistik EMIS Depag Pusat).

Sistem Pendidikan Pesantren
Kajian utama yang dikembangkan di lembaga pesantren adalah kitab kuning. Kitab ini merupakan kepustakaan dan pegangan para kyai dalam menentukan kepastian hukum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya seorang Kyai akan disebut “alim” kalau ia benar-benar memehami, mengajarkan dan mengamalkan apa yang terkandung dalam kitab tersebut.

Secara umum ada dua sistem yang dipakai para kyai dalam menyampaikan materi yang terdapat dalam kitab kepada para santri, sistem semacam ini banyak dipakai dikalangan pesantren tradisonal dalam kurun waktu yang lama. Yaitu sistem sorogan dan sistem bandongan.
Untuk Sistem sorogan, santri membaca kitab (gundul) dihadapan guru, lalu guru tersebut membetulkan apabila ada kesalahan. Sistem ini diperuntukkan bagi santri yang sudah maju dan di kader menjadi kyai sehingga guru bisa memantau langsung perkembangan santrinya. Sedang dalam sistim bandungan, seorang Kyai atau ustadz membacakan dan menjelaskan isi kitab sementara para santri mendengarkan, memberikan makna dan menerima. Dalam metode ini, guru berperan aktif, sementara suntri lebih banyak bersikap pasif. Sistim Bandongan ini bermanfaat ketika jumlah santri yang belajar cukup banyak dan dibatasi dalam waktu yang tertentu.

Rekonstruksi sistem pendidikan Pesantren
Ada beberapa kelemahan dari sistem pendidikan pesantren tradisional (sorogan dan bandongan) terutama dalam pengembangan kreatifitas berfikir seorang santri terhadap permasalahan yang terdapat dalam kitab. Sebab dalam pengajian. Ternyata segi kohnitif-nya tidak cukup diberi tekanan, ini terbukti dengan tidak adanya sistem kontrol berupa test atau ujian terhadap penguasaan santri pada bahan pelajaran yang diterimanya. Dan juga para santri kurang diberi kesempatan menyampaikan ide-idenya, apalagi untuk mengajukan kritik apabila menemukan kesalahan dalam pelajaran sehingga daya nalar dan kreatifitas berfikir mereka mengalami stagnasi. Hal ini diperparah dengan anggapan bahwa apa yang disampaikan oleh seorang kyai atau ustadz adalah suatu dogma yang dijamin kebenarannya. Karenanya santri tidak berani mengkritisi karena hawatir kuwalat.
Oleh kerenanya sistem semacam ini harus diobeh dengan memberikan kesempatan kepada santri untuk mengembangkan kreatifitas berfikir dengan cara : memberikan kesempatan berdialog terhadap termasalahan yang terdapat dalam kitab. Jadi fungsi kyai tidak hanya membaca kitab tetapi juga memberikan rangsangan untuk berfikir, mengemukakan pendapat meskipun tidak se-ide dengan Kyai. Dengan demikian, santri tidak cenderung bersikap statis yang hanya menunggu apa yang disampaikan oleh seorang Kyai.
Kelemahan lainnya adalah tidak adanya Manhaj Tarihi (Pendekatan Historis). Sering sekali seorang guru pesantren dalam membacakan suatu kitab tidak memberikan pengantar terlebih dahulu tentang kitab yang dibaca. Misalnya : Kitab itu dikarang oleh siapa, dalam kondisi masyarakat yang seperti apa, bagaimana aliran madzhabnya, dll. Sebab terkadang ulama pengarang kitab dipengaruhi oleh kondisi daerah maupun kultur masyarakat setempat sehingga ketika dibaca dan diterapkan di Indonesia seringkali mengalami perbedaan. Ini penting, agar supaya seorang santri tidak mengalami keterkejutan (shock), dan dia bisa membandingkan pemikiran pengarang kitab dengan pemikirannya. Ini sangat baik untuk menumbuhkan intelegensi seorang santri.
Sistem pendidikan pesantren juga harus dikembangkan terutama ketika menghadapi realitas kehidupan yang semakin modern. Permasalahan-permasalahan yang ketika zaman Nabi tidak terjadi, sekarang mulai muncul kepermukaan. Ingat kasus Human Cloning (Penciptaan manusia diru bagian sel tertentu dari tubuh seseorang). Persoalan ini sangat dilematis, disatu sisi ini merupakan penemuan dari hasil penelitian ilmiyah yang harus dihormati, disisi lain dengan penciptaan manusia semacam ini seseorang sudah berani menjadi tuhan-tuhan kecil yang seenaknya merekayasa bentuk tubuh (body) seseorang, padahal ini merupakan otoritas Allah untuk menentukannya.
Menghadapi realitas semacam ini, pesantren harus berani mengembangkan sistem pendidikannya dengan pendekatan tematik (Manhaj Maudhu’i). Jadi pembahasan difokuskan kepada persoalan-persoalan kontemporer dengan kajian yang sangat mendalam, bila perlu ditinjau dari berbagai disiplin keilmuan: Kedokteran, Hukum, Ekonomi, maupun Islam. Dengan demikian seorang santri tidak akan tertinggal dalam setiap laju perkembangan zaman. Saat ini, system semacam ini telah dikembangkan oleh intelektual muda NU, Masdar F Mas’udi dengan P3M-nya. Ini harus segera direspon oleh pesantren.
Kelemahan pesantren lainnya adalah tidak adanya batasan waktu yang jelas untuk menguasai materi dari bidang study. Kadang seorang santri meng-hatam-kan satu kitab sampai tiga, empat kali. Apa ini tidak termasuk Tasarruf al-wakt. Juga kurang adanya pemilahan mana materi-materi yang masih perlu dipelajari dan mana yang tidak. Jangan sampai persoalan yang saat ini sudah tidak terjadi (seperti perbudakan, dll) tetap diajarkan di pesantren

Tidak ada komentar:

Posting Komentar